Masalah gudang sering dianggap “urusan belakang” dan baru kelihatan ketika stok mulai berantakan, pesanan telat kirim, atau laporan persediaan nggak nyambung sama catatan akuntansi. Padahal, banyak kekacauan di gudang itu bukan karena bisnisnya sudah terlalu besar tapi karena hal-hal kecil yang dibiarkan terus-menerus.
Bayangin ada toko fashion online yang lagi naik daun. Order dari Shopee, Tokopedia, sama TikTok Shop tiap hari masuk. Pasti owner-nya seneng banget karena penjualan kelihatan jalan.
Tapi di balik layar, tim gudang mulai kewalahan. Barang yang harusnya ada di rak, nggak ketemu. Pesanan yang harusnya dikirim hari itu tertunda. Di marketplace muncul komplain: “Barangnya salah warna,” “Stoknya katanya ada, tapi kok dibatalin?” Si owner bingung: “Padahal ini cuma gudang kecil, kok masalahnya berasa gede banget?”
Nah, sering kali jawabannya sederhana: masalah gudang itu bukan muncul karena bisnisnya besar, tapi karena hal-hal sepele yang dibiarkan.
Masalah Gudang Sepele yang Berdampak Pada Bisnis
1. Layout Gudang Berantakan
Banyak gudang kelihatannya cuma “penuh”, padahal masalah intinya bukan di jumlah barang, tapi di penataannya. Karena dari awal gudang nggak dikasih struktur yang jelas, barang akhirnya ditaruh di mana saja ada ruang kosong.
Rak nggak punya kode, lorong nggak diberi nama, dan barang baru sering “nitip” di rak yang mestinya buat barang lain. Yang bikin masalah makin besar adalah ketika barang retur dicampur dengan barang jualan — hasilnya, tim picking bisa saja mengambil barang yang sebenarnya masih perlu dicek ulang.
Dampaknya langsung terasa di operasional: staf gudang butuh waktu lama cuma buat nyari satu SKU, salah ambil warna atau size karena tampilannya mirip, sampai kejadian konyol “di sistem ada, di gudang nggak kelihatan.”
Barang slow moving pun sering tenggelam karena posisinya di belakang dan nggak pernah dipantau. Kalau layout begini dibiarkan, gudang akan selalu terasa sempit dan berantakan, sekalipun kapasitasnya sebenarnya masih cukup.
Di sinilah sistem seperti Jubelio WMS jadi kepake: setiap barang bisa dicatat lokasi spesifiknya per rak atau per bin, jadi saat ada order masuk, tim gudang tinggal lihat sistem dan langsung tahu harus ambil di mana. Proses picking jadi lebih cepat, akurat, dan nggak tergantung “ingatan” satu orang gudang saja.
2. Pencatatan stok masih manual atau terpisah-terpisah
Masalah stok yang nggak pernah akurat hampir selalu berawal dari satu hal: data disimpan di banyak tempat. Ada yang catat di Excel, ada yang lihatnya di marketplace, ada yang pegang buku tulis, ada yang update stoknya lewat WhatsApp.
Begitu penjualan makin banyak, ritme update-nya nggak kejar, dan akhirnya muncul selisih. Contohnya, Shopee sudah mencatat stok berkurang 3, tapi file Excel belum dibuka, lalu di toko fisik ada transaksi 2 pcs lagi yang nggak masuk ke sistem pusat.
Nggak lama kemudian ada order baru dari Tokopedia, sistem marketplace masih bilang “stok tersedia”, padahal di rak sudah kosong. Inilah awal overselling dan pembatalan pesanan.
Kondisi ini makin parah kalau sering ada barang keluar untuk keperluan internal (photoshoot, sample, kirim ke influencer) tapi nggak pernah diinput. Selama perusahaan mengizinkan pencatatan stok di banyak tempat, stok nggak akan pernah 100% sama. Makanya idealnya bisnis cuma punya satu sumber stok yang dianggap paling benar dan semua pergerakan barang wajib lewat situ.
Dengan sistem WMS yang terhubung ke Jubelio Omnichannel, pola “stok ganda” ini dibereskan: begitu ada penjualan dari Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, website, atau POS, stok di WMS langsung berkurang otomatis tanpa perlu input manual per channel.
Transfer antar gudang pun tercatat statusnya dari draft sampai arrived, jadi nggak ada lagi barang “jalan” tapi nggak pernah sampai di sistem. Bahkan kalau ada barang rusak atau hilang, penyesuaian bisa dilakukan resmi lewat menu Persediaan → Penyesuaian Stok, jadi laporan keuangan tetap rapi.
3. SOP masuk-keluar barang tidak konsisten
Banyak bisnis sebenarnya sudah punya SOP gudang, tapi pelaksanaannya “tergantung orangnya”. Hari ini dicek barang datangnya, besok nggak. Hari ini picking pakai picking list, besok ambil yang gampang dijangkau.
Hari ini QC jalan, besok karena dikejar kurir akhirnya langsung kirim. Pola kerja yang berubah-ubah seperti ini bikin kesalahan kecil gampang banget masuk ke sistem: barang yang rusak ikut tercatat sebagai stok layak jual, barang dengan varian yang berbeda nyasar ke pelanggan yang salah, dan ujungnya retur meningkat bukan karena pelanggan komplain sembarangan, tapi karena internal salah kirim. Yang rugi siapa?
Ya bisnis sendiri — ongkir balik, reputasi di marketplace turun, dan CS jadi harus minta maaf terus. SOP itu sebenarnya bukan sekadar dokumen, tapi jalur yang harus dipaksa dilalui barang: datang → dicek → ditempatkan → diambil → dikirim.
4. Pengelolaan retur tidak dipisah
Salah satu sumber kekacauan stok yang paling sering nggak disadari adalah retur yang diperlakukan seperti stok biasa. Banyak tim gudang ketika menerima barang retur dari pelanggan langsung saja naruh ke rak jual tanpa dicek.
Di sistem, barang itu sudah dianggap menambah stok. Padahal belum tentu barangnya masih layak jual — bisa jadi kemasan penyok, bisa jadi salah size, bisa jadi barangnya sebenarnya yang dikirim tadi juga salah.
Begitu retur yang belum diverifikasi ini tercampur dengan stok jual, peluang salah kirim ke pelanggan berikutnya jadi sangat besar. Ditambah lagi kalau retur dari marketplace nggak pernah diinput ke sistem, stok di marketplace bisa kelihatan banyak padahal barang fisiknya masih numpuk di area retur.
Idealnya, gudang punya area khusus retur, dan setiap barang retur diklasifikasikan: mana yang langsung bisa dijual lagi, mana yang harus diperbaiki atau direpack, dan mana yang harus di-scrap. Barang yang tidak layak harus dikurangi stoknya secara resmi supaya angka di laporan tidak bohong.
Jubelio WMS mempermudah bagian ini karena adjustment stok bisa dilakukan langsung di sistem tanpa harus bikin transaksi palsu atau nota fiktif. Semua pergerakan tercatat, jadi auditor atau owner bisa lihat kenapa stok turun.
Bahkan kalau perusahaan punya lebih dari satu gudang, barang retur yang ternyata masih bagus bisa dijadwalkan untuk dipindah otomatis ke gudang utama secara berkala, mau harian atau mingguan jadi retur nggak mengendap terlalu lama.
5. Tidak ada kontrol ke barang fast moving dan barang expired
Menariknya, banyak gudang sibuk mengatur barang yang jarang laku, padahal justru barang yang keluar-masuk cepat yang paling berisiko menimbulkan masalah.
Produk fast moving itu siklusnya singkat: pagi masih ada 30, siang tinggal 8, sorenya sold out. Kalau stoknya nggak dikunci atau nggak ada batas minimum (reorder point), sistem marketplace masih bisa saja menampilkan stok tersedia padahal barang fisiknya sudah habis. Itulah kenapa overselling sering terjadi di produk best seller, bukan di produk slow moving.
Di sisi lain, untuk produk yang punya masa kadaluarsa seperti makanan, minuman, skincare, farmasi ringan tentunya memiliki masalah berbeda lagi. Karena barang ditaruh tanpa urutan tanggal, yang baru datang justru keambil duluan, sementara yang datang lebih dulu tertinggal dan akhirnya expired.
Ini bikin modal nyangkut di stok yang nggak jalan dan laporan persediaan jadi “terlalu optimis” karena nilainya besar, padahal barangnya sudah nggak bisa dijual. Kontrol seperti ini susah kalau cuma mengandalkan catatan manual.
Maka dipakai metode seperti FEFO (First Expired First Out) atau minimal FIFO, supaya barang yang lebih dulu harus keluar ya keluar duluan. Jubelio WMS bisa menjalankan pola picking seperti ini, bahkan bisa menandai stok yang sudah dipesan (reserved stock) supaya nggak keambil untuk order lain.
Dengan begitu, tim gudang nggak perlu tebak-tebakan lagi barang mana yang harus diambil duluan dan risiko salah kirim atau stok habis tiba-tiba bisa ditekan.
6. Ukuran Meja Saat Packing
Yang sering nggak terbayang juga, masalah gudang itu kadang bukan di stok atau layout aja, tapi di hal se-‘receh’ ukuran meja kerja.
Banyak gudang punya alur picking udah oke, barang di rak jelas, picking list jelas, tapi begitu masuk ke meja packing… mandek. Ternyata mejanya kependekan, terlalu sempit, atau posisinya nggak enak dijangkau.
Meja yang terlalu kecil bikin petugas harus mindah-mindahin barang berkali-kali: kardus ditaruh dulu di lantai, bubble wrap ditaruh di samping, invoice nyelip di ujung. Setiap perpindahan kecil ini bikin waktu packing jadi lebih lama.
Kalau order per hari cuma 10 mungkin nggak kerasa, tapi kalau order harian sudah ratusan, selisih 30–40 detik per packing itu ngumpul jadi jam kerja.
Ukuran dan tinggi meja juga berpengaruh ke stamina petugas. Meja yang terlalu rendah bikin mereka harus nunduk terus, lama-lama pegal dan kecepatan kerja turun.
Meja yang terlalu tinggi bikin gerakan mengepak karton jadi nggak natural. Padahal packing yang ideal itu bahannya sudah tersusun di area jangkauan tangan: kardus, lakban, cutter, invoice, dan barang utama ada di satu bidang kerja.
Kalau area kerjanya sempit, barang dan alat bantu jadi berpencar efeknya pekerja sering jalan bolak-balik cuma buat ambil lakban. Itu artinya bottleneck gudangmu bukan di stok, tapi di ergonomi meja.
Packing itu kelihatannya sederhana, tapi performanya ditentukan sama detail kecil. Ruang kerja yang cukup bikin alur gerak orang jadi lancar. Meja yang lebar bikin barang, alat, dan material bisa ditata jadi satu flow (ambil barang → bungkus → masuk kardus → lakban → tempel resi).
Tinggi meja yang pas bikin pekerja nggak cepat capek sehingga ritmenya stabil. Semua ini kalau dibiarkan asal, akan kelihatan dalam bentuk yang kamu nggak suka: packing lama, barang kurang rapi, dan kadang kiriman jadi salah karena invoice atau bonus produk nyelip di sudut meja.
Kesimpulan
kalau lima hal di atas masih sering kejadian di gudang, mulai dari layout nggak jelas, stok nyebar di banyak tempat, SOP nggak konsisten, retur campur, dan barang fast moving nggak dikontrol. Itu tanda kuat kalau proses gudang kamu sudah waktunya dipindah ke sistem gudang.
Jubelio WMS bukan cuma ngegantiin Excel, tapi ngebikin alur gudang jadi pakem, stok jadi satu angka, dan pergerakan barang bisa ditelusuri. Jadi masalah yang tadi kelihatan sepele nggak lagi jadi sumber kebocoran stok dan pembatalan pesanan.